November 26, 2011

Seolah semut merayap di antara tulangku, dagingku dan kulitku



Ia tengah menjalankan tugas dari Rasulullah SAW untuk suatu keperluan. Di tengah jalan, “bencana” datang menyapanya. Sewaktu melayangkan pandang ke salah satu rumah yang tidak tertutup pintunya, terlihatlah olehnya wanita yang sedang mandi. Mungkin hanya dalam hitungan detik, bukan menit.

Wajahnya mendadak pucat, tubuhnya gemetar ketakutan. Ia segera berlari melewati rumah demi rumah, kampung demi kampung, hingga keluar Madinah. Ia tiba di sebuah padang pasir yang sepi. Di sana ia menangis sejadi-jadinya. Menyesali apa yang telah dilihatnya. Dengan derai air mata dan suara yang tersisa ia memohon ampunan Rabbnya.

Rasulullah kehilangan sahabat ini untuk satu hari. Beliau bertanya-tanya, tetapi sahabat yang lain tidak juga mengetahui keberadaannya. Hingga berlalulah empat puluh hari. Akhirnya malaikat datang mewahyukan di mana ia berada. Umar dan Salman ditugasi Sang Nabi untuk menjemputnya.

Dengan susah payah Umar berhasil menemukannya. Ia memeluk sahabat itu penuh rindu. “Wahai Umar, tahukah Rasulullah SAW tentang dosaku”, tanyanya penuh kekhawatiran. “Aku tidak tahu permasalahan itu. Yang jelas, Rasulullah menugaskan kami untuk mencarimu.”

“Wahai Umar, satu permohonanku padamu. Jangan kau bawa aku menghadap Rasulullah, kecuali ketika beliau sedang shalat.”

Sesampainya di Madinah dan mendapati Rasulullah membaca Al-Qur’an dalam shalatnya, sahabat ini pingsan. Ia jatuh sakit hingga berhari-hari. Ketika Rasulullah tahu kondisinya dan menjenguk ke sana, ia masih saja khawatir akan dosanya. “Apa yang kau rasakan?” Rasulullah bertanya kepada sahabat yang kini telah berada dalam pangkuannya ini. “Seolah semut merayap di antara tulangku, dagingku dan kulitku”.

“Apa yang kau inginkan?” tanya beliau lagi. “Ampunan Rabbku”, jawabnya penuh harap. Tak lama kemudian Jibril menyampaikan wahyu, “Wahai Muhammad, Rabbmu mengirimkan salam untukmu. Dia berfirman padamu, ‘Seandainya hambaKu ini datang padaKu dengan kesalahan yang memenuhi bumi, tentulah Aku akan menemuinya dengan ampunan sebanyak itu pula.”

Ketika Rasulullah SAW memberitahu wahyu ini kepadanya, sahabat ini meninggal seketika. Namanya Tsa’labah.

Tsa’labah. Ia mengajarkan kepada kita untuk bertaubat, bahkan dari kemaksiatan yang –oleh orang di zaman sekarang- tidak dianggap. Ia mengajarkan kepada kita untuk bertaubat, meskipun dari kesalahan yang sebenarnya tidak disengaja.


source : KELUARGA-MADINAH.BLOGSPOT.COM

Ternyata Tangan

Semalam ikutan acara Pecha Kucha vol.1 di Pasturo Cafe (errr. . . pasturo, bikin aku membayangkan seorang pastur :P ). Acara yang dimulai sejak ba'da Isya itu menyajikan presentasi orang2 yang meREALisasikan idenya. Atau yang mau presentasi tentang komunitasnya. Dari yang small sampai yang big! Aku pikir that's great! Awesome! Seru banged, sampai Pasturo Cafe gak muat. Aku tunggu pecha kucha berikutnya!
Setelah Pecha Kucha selesai, aku diajak Candra ke kiosnya. Aku awalnya gak tau kiosnya itu apa, di mana, dan tau2 aja Mas Danu udah bilang, "Ikutin aku aja." Sambil nyengir khas dengan pipi tebelnya. Akhirnya aku cuma ikut aja, setelah nganter Sendy ke XXI. Mbak Ratna dan temennya udah balik duluan ke kos waktu itu. 
Singkat cerita, aku, Mas Danu, dan Candra sudah di Cafe Onthelista. Ternyata Candra buka cafe. Baru, dan sepertinya aku tertarik dengan konsep cafenya. "Coba ah aku marketingin," batinku. 




Di sana ada klinik Onthel. Aku lupa nama Mas (Mas Wawan mungkin ya) yang dengan semangatnya menjelaskan berbagai macam tipe, jenis dan asal onthel. Betapa expert.nya beliau. Aku salut bahwa onthel sekarang bisa jadi barang yang di-investasikan. Tergantung seberapa jauh pemilik bisa merawat ke-original-annya. 



Waktu semakin larut, karena acara Pecha Kucha sendiri selesai jam 21:34 dan kita baru sampai di Cafe Onthel jam 21: 56. Obrolan yang kita obrolin bebas. Walau sebenarnya ada obrolan penting yang mau mas Danu sampaikan ke Candra malam itu. Jadi ya otomatis aku cuma jadi pendengar setia. Nah, saat itulah tanganku gak pernah bisa diem. Kepala clingak clinguk kanan kiri. Badan ikutan mondar mandir ke sana sini. Walo mulut ngobrol ngalor ngidul, tanya ini tanya itu. Gak tau kenapa aku ngambil kawat bekas di pilar depan sebelah timur cafe. Langsung aja, Eureka! "Buat sesuatu ah," sambil nyengir kuda.


Yang aku buat adalah model sepeda onthel dari kawat bekas. Kawat yang abis dipotong2 itu tak buat dengan melihat salah satu koleksi Mas Onthel (tak kasih nama mas Onthel karena aku lupa namanya). Sambil dengerin obrolan mereka tanganku masih saja gak bisa diem. Dan sesekali nyeruput kopi luwak yang harganya cuma Rp 10.000,-. Sadar apa endak, ini kopi luwak termurah yang pernah aku minum. Enak. Mataku baru terpejam pagi tadi.
Singkat cerita, model sepeda onthel tadi adalah karya kesekianku (kenapa gak tak ambil gambarnya). Padahal No Pic bisa jadi Hoax. Haha whateverlah . . .